Artikel
Survey PISA : Anak Indonesia Tak Pandai Membaca, Rentan Kena Hoaks
Survey PISA : Anak Indonesia Tak Pandai Membaca, Rentan Kena Hoaks
[KBR|Warita Desa] Rata-rata anak Indonesia tak pandai membaca. Hal itu terungkap dalam laporan survei pendidikan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Selasa (3/12/2019).
Menurut laporan tersebut, kemampuan membaca pelajar Indonesia umumnya masih berada di level dasar, yakni di level 1 dari 6.
"Pembaca di level 1 bisa memahami arti harfiah dari kalimat-kalimat pendek, bisa memahami tema tulisan yang topiknya familiar dengan mereka," jelas laporan PISA.
Apabila dibandingkan secara global, kemampuan membaca anak Indonesia juga berada di peringkat 'bontot', yakni rangking ke-72 dari 77 negara.
"Pelajar di Kolumbia, Mesir, Indonesia, Montenegro, dan Maroko bisa memahami bacaan dari sumber tunggal, tapi cenderung lemah memahami bacaan dari banyak sumber (multiple-source reading)," jelas laporan PISA.
Baca juga : PLN : Pengguna Listrik Tenaga Surya Naik 181 Persen
Lemah Membaca = Rentan Kena Hoaks
Laporan PISA menegaskan bahwa kemampuan membaca penting bagi anak. Dengan membaca, anak bisa memahami lingkungan sekitarnya, serta mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
Namun, bila tidak diasah dengan baik, kegiatan membaca bisa menyesatkan alih-alih mencerdaskan. Apalagi di era digital, ketika begitu banyak hoaks membanjiri internet.
Hal itu dijelaskan ahli statistik OECD Andrea Schleicher dalam laporan PISA 2018 Insights and Interpretations yang dirilis Selasa (3/12/2019).
"Dulu, pelajar mendapat penjelasan dari buku-buku resmi pemerintah, dan mereka bisa percaya itu sebagai satu-satunya sumber yang benar. Tapi sekarang, pelajar bisa menemukan jutaan penjelasan berbeda (di internet)," tulis Andrea dalam laporannya.
"Internet sudah menciptakan ruang yang sangat luas untuk penyebaran berita-berita palsu, yang bisa membentuk opini publik dan pilihan politik. Pernyataan yang 'meyakinkan' bisa dianggap sebagai kebenaran sekalipun tak punya basis fakta," jelas Andrea.
"Sekarang ini pelajar harus mampu menentukan sendiri penjelasan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, mana yang buruk," jelasnya lagi.
Untuk mengatasi masalah itu, Andrea bersama OECD mendorong negara-negara supaya membuat kebijakan pendidikan yang membangun daya kritis pelajar.
"Pelajar harus mampu membaca teks yang rumit, membedakan mana informasi kredibel dan mana yang tak bisa dipercaya, membedakan fakta dan fiksi, serta berusaha mengembangkan lagi pengetahuan yang ada sekarang," tegas Andrea.
Oleh : Adi Ahdiat
Editor: Sindu Dharmawan
Redaktur : Abdul Kadir